Pelajar dan Intelektualisme

Pelajar dan Intelektualisme

Oleh : Luluk Khotimah, S.Pd

Kehadiran pelajar sebagai entitas sosial yang terdidik dan terpelajar, ia adalah kaum intelektual muda masa depan yang hidup dalam lingkungan yang kondusif dan ilmiah. Keanekaragaman potensi pelajar, baik berupa karya/prestasi akademik maupun non akademik adalah wujud pelangi kreatifitas anak bangsa yang akan menghantarkan dan mengukir prestasi kesejarahan dunia. Pena adalah senjata utama bagi pelajar dalam mewujudkan cita-citanya, dari kata yang tersusun secara sistemik akan menjadi proposisi-proposisi , yang kemudian akan melahirkan pemikiran atau gagasan/ide untuk disebarluaskan sebagai karya intelektual dan dijadikan bahan refleksi dialektis masyarakat dalam melakukan perubahan membangun dan menata peradaban.

Eksistensi perpustakaan sebagai taman kultur belajar/ilmiah untuk mencari ilmu dan menggali informasi pelbagai gagasan atau pemikiran nampaknya memang tidak bisa disingkirkan dalam membangun peradaban manusia yang kian berkembang pesat. Fakta historis, zaman kejayaan Islam masa lalu dalam konteks ilmu pengetahuan dan teknologi telah dimulai dengan membangun ‘baitul hikmah’ yaitu perpustakaan yang dibangun pada zaman dinasti abbasiyah dan dipergunakan sebagai ruang belajar untuk membangun tradisi keilmuan atau intelektualisme.

Kerinduan reaktualisasi tradisi intelektualisme di dunia muslim adalah merupakan spirit kebangkitan peradaban Islam mewujudkan cita-citanya membangun masyarakat beradab, adil dan makmur. Pluralitas pemikiran yang lahir dari akar tradisi agama, filsafat, kalam, tasawuf dan fiqih telah tumbuh dan berkembang subur dalam tradisi intelektualisme sepanjang sejarah peradaban Islam. Kecintaan ilmu adalah spirit kaum intelektual dalam menghasilkan karya-karya besar (khazanah keilmuan) untuk kemaslahatan dan kesejahteraan ummat. Kedewasaan, kebebasan dan keterbukaan pikiran adalah sikap dan karakter kaum intelektual dalam menerima segala bentuk dan sifat konsepsi pemikiran yang berbeda-beda untuk mencari, memahami, menyusun pengetahuan dan kebenaran. Keterbukaan berfikir adalah proses upaya sadar manusia untuk memaknai dan menyusun rumusan pengetahuan dan kebenaran proposisi-proposisi. Ruh memegang peranan penting dalam mendayagunakan instrument jasad dan hayatnya, ia adalah kekuatan berfikir yang digunakan manusia untuk menangkap dan memahami teks kebenaran serta menyusun pengetahuan, yang kemudian akan menghadirkan kesadaran akan hakikat diri dan kehidupan. Untuk memunculkan kesadaran akan hakikat diri dan kehidupan, manusia dalam mengemban dan menjalankan amanah suci atau tugas kekhalifahan (Wakil Tuhan) di bumi yaitu melalui Akal. Akal adalah daya ruh manusia untuk memahami dan merasakan kebenaran, ia adalah potensi dalam diri manusia yang digunakan untuk memahami proses dinamika kehidupan, menyakini kebenaran teks suci (baca : Al Qur’an), memaknai, menyusun atau merumuskan konsepsi kehidupan dan melakukan rekayasa peradaban.

Rekayasa peradaban adalah upaya sadar yang harus dilakukan oleh negara dan civil society dalam mengubah dan menata struktur social culture, ekonomi, politik dan aspek kehidupan lainnya untuk membangun masyarakat yang beradab, adil dan makmur. Pembangunan sebuah bangsa dan negara, sesungguhnya tergantung oleh kualitas warga negaranya yaitu rakyatnya yang berilmu pengetahuan, berfikir positif, dinamis, kreatif-inovatif, progresif, berdaya saing dan menjunjung tinggi nilai-nilai universal. Ilmu pengetahuan dapat diperoleh melalui tradisi intelektualisme yaitu membaca, menulis, berdiskusi dan meneliti. Sebagai bangsa religius dan mayoritas muslim, membaca adalah spirit dan perintah agama sebagaimana terkandung dalam wahyu pertama yaitu surat al Alaq. Menurut Prof. Dr. Wahbah Zuhaili dalam Tafsir al Munir Jilid 7, surat al Alaq memiliki tiga cakupan yang sangat prinsipil : Pertama, menjelaskan hikmah penciptaan manusia, keutamaan perintah membaca (iqra’) dan menulis (’allama bi al qalam) sebagai keutamaan manusia dari makhluk-Nya yang lain. Kedua, menjelaskan tentang keutamakan manusia terhadap duniawi dan akhirnya hancur karena kecintaannya terhadap dunia (baca ; materialisme, hedonisme). Ketiga, mengkisahkan tentang Abu Jahal yang membangkang terhadap ajaran Nabi. Wahbah Zuhaili juga menyatakan bahwa nilai normatif yang terkandung dalam surat al Alaq ini, lebih mengajak kepada manusia untuk memahami urgensi membaca dan menulis. Dengan membaca dan menulis, tentunya akan menghantarkan manusia dari dunia kegelapan menuju dunia pencerahan.

Kesalahan sistemik yang masih menggejala dalam dunia pendidikan nasional, mulai dari lembaga pendidikan dasar, menengah sampai perguruan tinggi adalah tradisi membaca dan menulis yang bermasalah. Akar masalah krusial ini adalah karena iklim argumentasi logis seringkali hanya berlaku di ruang informal dan non formal. Sekolah formal sebagai ruang kultur belajar/ilmiah para generasi penerus bangsa (baca : pelajar), yang semestinya merupakan ruang kondusif dan ilmiah. Namun pada kenyataanya ruang ini belum bisa digunakan sebagaimana mestinya, seperti adanya fasilitas perpustakaan sekolah sebagai ruang kultur belajar (taman baca) masih minim pengunjungnya (sepi) karena sebagian besar pelajar lebih suka memilih mengunjungi tempat-tempat hiburan (baca ; mall). Pertanyaannya kemudian, kenapa hal ini terjadi?ada apa dengan life style masyarakat pelajar?ada apa dengan konsep perpustakaan sekolah kita?. Secara teknis dan praktis lemahnya tradisi menulis di kalangan pelajar dikarenakan belum adanya pelajaran secara intensif tentang teknik menulis mulai dari sekolah dasar sampai menengah atas.

Menulis adalah proses pembelajaran, aplikasi pengetahuan, gambaran peta pikiran manusia secara sistemik. Prinsip menulis adalah keterampilan (skill), menulis bukanlah kemampuan yang dapat mudah dikuasai dengan sendirinya melainkan dengan ketekunan dan kesabaran yang dilakukan dalam proses pembelajaran yang panjang karena menulis bukan hal yang mudah. Menurut perkataan Qatadah dalam Tafsir al Qurthubi, ” Menulis adalah nikmat termahal yang diberikan oleh Allah, ia juga sebagai perantara untuk memahami sesuatu. Tanpanya, agama tidak akan berdiri, kehidupan menjadi tidak terarah …. ”. Bahkan Abdullah bin ’Amru, seorang ulama salaf menyatakan ”qayyidu al ilma bi al kitabah” (ikatlah ilmu dengan menulisnya).

Membaca dan menulis adalah kegiatan yang dinamis dan produktif. Membaca firman Allah, baik yang tertulis (ayat) dan terlihat (alam) sebagai fenomena dan tanda-tanda kebesaran-Nya. Menulis sebagai aplikasi pengetahuan yang diperoleh melalui proses pembelajaran yang panjang dengan penuh kesabaran, ketelitian, ketekunan, dan kejelian dalam mengungkapkan atau mengambarkan peta pikiran/pemikiran/gagasan/ide seseorang yang disusun secara sistemik. Berdiskusi adalah proses pembelajaran yang terjadi atas refleksi dialektis terhadap teks. Interpretasi teks yang terjadi dalam ruang ilmiah adalah sebuah upaya kesadaran kritis manusia memaknai dan menyusun pengetahuan dan kebenaran proposisi-proposisi.

Dan meneliti adalah merupakan proses kesadaran analitis manusia dalam mengungkap dan menemukan kebenaran melalui proses pembuktian. Keterbukaan pikiran terhadap bukti baru dan/atau yang bertentangan adalah sikap ilmiah yang harus dipegang teguh sebagai seorang filosof/ilmuwan/intelektual. Proses pembuktian dapat dilakukan dengan cara observasi, study literatur/pustaka atau dengan metode/teknik lainnya. Proses penelitian harus dilakukan secara sistemik dan metodologis. Munculnya bukti baru dan/atau yang bertentangan bisa terjadinya jika ada proses dialektika yaitu adanya thesis dan anti thesis yang kemudian terjadi dialektika untuk menemukan sintetisnya, dan hasil sintesisnya akan menjadi thesis baru yang akan berhadapan dengan anti thesisnya, yang selanjutnya tersusun sintesis baru dan proses ini secara terus menerus berlanjut.

Menjadikan intelektualisme sebagai spirit pendidikan seumur hidup (long live education) adalah wujud komitmen Islam akan kecintaan terhadap ilmu. Tradisi kultur belajar/ilmiah ini terlihat dari kecintaan akan berteman dengan buku-buku. Kebebasan dan keterbukaan berfikir akan memicu tradisi intelektualisme. Dengan menjadikan perpustakaan dan masjid sebagai taman baca dan ruang bertemu untuk berdiskusi, memenuhi kebutuhan untuk berkarya dan berprestasi sehingga kemandekan pemikiran dapat diatasi.

Pelajar adalah kelompok sosial masyarakat yang memegang peranan penting dalam mengemban amanah kesejarahan untuk melakukan perubahan dalam membangun dan menata peradaban. Pelajar adalah subyek peradaban, ia adalah merupakan generasi penerus bangsa yang lahir dan tumbuh berkembang dalam lingkungan kaum terpelajar dan terdidik, lingkungan yang kondusif dan ilmiah. Tradisi intelektualisme akan menghantarkan pelajar dari dunia ’gelap’ menuju dunia ’pencerahan’.

CC : https://sites.google.com/guru.smk.belajar.id/luluk-khotimah/opini?authuser=0

Team ICT

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *